Upacara Ngaben di Bali

  • Welcome Dance

    This is slide 1 description. Go to Edit HTML and replace these sentences with your own words. This is a Blogger template by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com...

  • Pendet Dance

    This is slide 2 description. Go to Edit HTML and replace these sentences with your own words. This is a Blogger template by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com...

  • Bali Dancer

    This is slide 3 description. Go to Edit HTML and replace these sentences with your own words. This is a Blogger template by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com...

Showing posts with label Upacara Agama. Show all posts
Showing posts with label Upacara Agama. Show all posts

Sunday, October 14, 2018

Filosofi, Arti dan Makna Kain Poleng (Hitam/Putih) di Bali



Warna Poleng di Bali mengandung makna yang tersendiri. Secara umum Poleng adalah merupakan perpaduan warna hitam dan putih yang banyak sekali bisa kita temukan di Bali. Warna ini merupakan makna sakral di Bali yang sampai saat ini tetap ajeg dipergunakan dalam simbol-simbol kehidupan budaya orang Bali. Orang Bali sudah terbiasa dengan warna ini dan mempergunakannya dalam keseharian mereka, dan didalam permaknaan dalam kehidupan mereka. Mereka secara sadar ataupun tidak telah ikut menjaga dan melestarikan simbol-simbol budaya para leluhurnya.

Dalam kehidupan orang Bali sebenarnya dikenal ada tiga macam warna Poleng.

Poleng yang pertama, Warna poleng ”Hitam dan Putih” seperti  warna papan catur ini disebut dengan Poleng ”Rwa Bhineda”. Warna Poleng ini terdiri dari warna hitam dan putih yang merupakan simbolik dari Dharma dan Adharma, atau unsur positif dan unsur negatif.

Poleng yang kedua, perpaduan warna antara warna Hitam, warna Abu-abu, dan warna Putih. Warna Poleng ini disebut dengan ”Poleng Sudhamala”. Makna yang terkandung didalamnya yaitu warna Hitam merupakan simbol dari Adharma/ unsur negatif, warna putih merupakan simbol dari Dharma/ unsur positif. Sedangkan warna abu-abu ini merupakan sebagai warna penyelaras dari makna Dharma/ unsur Positif (Warna Putih) dan Adharma/ unsur negatif (warna Hitam).

Warna Poleng yang ketiga, ”Poleng Tridatu” yaitu : kombinasi perpaduan dari tiga warna yaitu : Warna Merah, Warna Hitam dan Warna Putih. Warna Merah dalam ”Tridatu” ini merupakan lambang dari Rajas, sifat energik. Warna hitam dalam Tridatu ini melambangkan Tamas, atau sifat malas dan Warna Putih simbol dari Satwam yaitu kebijaksanaan atau kebaikan. Adapula yang memaknai Warna tridatu ini sebagai perlambang penyatuan dari Tri Murti yang mana warna Merah merupakan simbolik dari Dewa Brahma, Warna Hitam simbolik dari Dewa Wisnu dan Putih merupakan simbolik dari Dewa Siwa.




Warna Poleng secara umum pada masyarakat Hindu Bali biasa kita bisa lihat dan dipergunakan pada pakaian Para Pecalang, pada Kul kul (kentongan), patung-patung Penjaga Pintu Gerbang, atau juga biasanya dipakai oleh para Balian. Kesemuanya itu tadi merupakan perlambang dari Penjaga.

Dalam konteks Menjaga atau sebagai Penjaga, warna Poleng di Tanah Lot memiliki makna dan nilai Filosofi yang sangat tinggi. Warna poleng di Tanah Lot merupakan warna Sakral yang sampai saat ini sangat diyakini oleh masyarakat Hindu Bali sebagai penjaga Pura Luhur Tanah Lot. Pura Luhur Tanah Lot yang merupakan sebuah simbol Kesucian yang mengandung nilai Spiritual yang sangat-sangat tinggi. Bahkan warna poleng yang di Tanah Lot tidak hanya sekedar warna yang tertuang dalam selembar kain, akan tetapi warna poleng Sudhamala ini ada pada Duwe (Ular Suci/. Lipi Poleng) yang sudah dikenal ada semenjak berdirinya Pura Luhur Tanah Lot.

Keberadaan Ular Suci yang berwarna Poleng ini sampai saat ini masih sangat dipercaya oleh masyarakat Hindu Bali sebagai penjaga dari kelestarian alam dan kesucian dari Pura Luhur Tanah Lot.

Kepercayaan masyarakat bahwa duwe (Ular Poleng Tanah Lot) yang saat ini masih ada di Tanah Lot, konon berasal dari Selendangnya Beliau Danghyang Dwijendra (dalam Dwijendra Tattwa), yang kemudian di pastu menjadi Ular Poleng yang ditugaskan untuk menjaga kelestarian alam dan Kesucian Pura Luhur Tanah Lot dan keberadaan Ular Suci itupun sampai saat ini bisa kita saksikan masih ada di lingkungan suci Pura Tanah Lot.

Tuhan telah memberikan kita simbol dengan makna-makna filosofi yang tinggi pada warna Poleng itu, dan akhirnya di Tanah Lot sendiri makna Poleng mengandung makna tersendiri dan sangat melegenda di masyarakat.

Makna Filosofi dari Warna Poleng, sengaja kita angkat dalam event ”Tanah Lot Art Festival tahun 2010” lalu. Poleng merupakan kampanye sosial kita kepada masyarakat di seluruh dunia. Dengan makna poleng hendaknya kita sebagai manusia merupakan prnjaga bagi kelestarian alam dan warisan tradisi budaya kita di Tabanan. Melalui tema Poleng, Tanah Lot menyerukan kepada kita semua ’Kita harus berbuat dalam rangka Kelestarian Alam, pelestarian, pengembangan dan penggalian budaya leluhur”. Dengan demikian, kita juga ikut menjaga alam Bali dan Budaya masyarakat Bali khususnya di Tabanan.



Harapan kita bersama, warna Poleng hendaknya mampu menginspirasi kita bersama melalui ”Tanah Lot Art Festival 2010” dengan Tema ”POLENG” kita harus menjaga Alam dan segala bentuk warisan budaya masyarakat kita. Makna Poleng merupakan sebuah kewajiban dan Dharma kita sebagai manusia. Dari Tanah Lot mari kita kumandangkan makna Poleng kepada Dunia bahwa dengan semangat makna POLENG Kita jaga kelestarian alam kita dan budaya masyarakat kita, sebagaimana Ular Poleng/duwe yang ada di Tanah Lot tetap menjaga kesucian Pura Luhur Tanah Lot sampai saat ini.

Arti Dan Asal Usul Tradisi Upacara Ngaben Di Bali



Ngaben merupakan upacara kremasi atau pembakaran jenazah di Bali, Indonesia.
Upacara adat Ngaben merupakan sebuah ritual yang dilakukan untuk mengirim jenazah pada kehidupan mendatang. Dalam upacara ini, jenazah diletakkan dengan posisi seperti orang tidur. Keluarga yang ditinggalkan pun akan beranggapan bahwa orang yang meninggal tersebut sedang tertidur. Dalam upacara ini, tidak ada air mata karena mereka menganggap bahwa jenazah hanya tidak ada untuk sementara waktu dan menjalani reinkarnasi atau akan menemukan peristirahatan terakhir di Moksha yaitu suatu keadaan dimana jiwa telah bebas dari reinkarnasi dan roda kematian. Upacara ngaben ini juga menjadi simbol untuk menyucikan roh orang yang telah meninggal.

Dalam ajaran agama Hindu, jasad manusia terdiri dari badan halus (roh atau atma) dan badan kasar (fisik). Badan kasar dibentuk oleh lima unsur yang dikenal dengan Panca Maha Bhuta. Kelima unsur ini terddiri dari pertiwi (tanah), teja (api), apah (air), bayu (angin), dan akasa (ruang hampa). Lima unsur ini menyatu membentuk fisik dan kemudian digerakkan oleh roh. Jika seseorang meninggal, yang mati sebenarnya hanya jasad kasarnya saja sedangkan rohnya tidak. Oleh karena itu, untuk menyucikan roh tersebut, perlu dilakukan upacara Ngaben untuk memisahkan roh dengan jasad kasarnya.

Tujuan upacara ngaben

Secara garis besarnya Ngaben adalah untuk memproses kembalinya Panca Mahabhuta di alam besar ini dan mendampingi Atma (Roh) ke alam Pitra dengan memutuskan keterikatannya dengan badan duniawi itu. Dengan memutuskan kecintaan Atma (Roh) dengan dunianya, Ia bakal bisa kembali pada alamnya, yakni alam Pitra. Kemudian yang menjadi tujuan upacara ngaben adalah supaya ragha sarira (badan / Tubuh) cepat bisa kembali terhadap asalnya, yaitu Panca Maha Bhuta di alam ini dan Atma bisa selamat bisa berangkat ke alam pitra.

Ada suatu buku yang berjudul ”108 Mutiara Veda” Terbitan tahun 2001, cocoknya di halaman 107, ada tersurat yang dikutip dari: Yajurveda: 40-15. Dalam bukit itu disebutkan bahwa;

Wahai manusia, badanmu yang dibangun oleh panca mahabhuta akhirnya menjadi abu dan atmanya bakal mendapat moksa.
Oleh sebab itu, ingatlah nama Tuhan, yaitu AUM, ingatlah nama Tuhan AUM, dan ingatlah lakukananmu.
Jadi dalam kitab suci veda samhita, dalam faktor ini kitab yajurveda ada tersurat bahwa setiap orang (Hindu) yang meninggal mayatnya wajib dibangun menjadi abu supaya atmanya mencapai moksa. Tapi apakah dengan upacara ngaben langsung bisa mencapai surga alias moksa? Apabila menurut kami semacamnya itu belum tentu. Bisa dilihat pada Kutipan dari Yajurveda diatas pada kalimat terbaru. “Ingatlah lakukananmu” pastinya ketika kami telah meninggal kami bakal mempertanggung jawabkan lakukanan kami semasa nasib. Apakah layak alias tidaknya untuk mencapai surga ataupun moksa.

Pelaksanaan ritual upacara ngaben

Ngaben adalah upacara yang besar dan pastinya itu memerlukan anggaran yang ketidak sedikitan. Bagaimanakah bagi mereka yang tak lebih mampu? Agama Hindu fleksibel dan pastinya ada kebijakan-kebijakan tentang kondisi demikian. Biasanya diadakannya ngaben massal yang pasti dari sisi anggaran bakal lebih mengurangi. Dan dari beberapa penelusuran terhadap beberapa lontar di Bali, ngaben nyatanya tak rutin besar. Ada beberapa tipe ngaben yang justru sangat sederhana. Ngaben-ngaben tipe ini antara lain Mitrayadnya, Pranawa dan Swasta. Tetapi demikian, tersedia juga beberapa tipe upacara yang termasuk besar, semacam sawa prateka dan sawa wedhana.
Berikut Tipe – tipe Ngaben Sederhana :

Mendhem Sawa

Mendhem sawa berarti penguburan mayat. Di muka dijelaskan bahwa ngaben di Bali tetap diberbagi peluang untuk ditunda sementara, dengan argumen beberapa faktor semacam yang telah diuraikan. Tetapi diluar itu tetap ada argumen yang bersifat filosofis lagi, yang didalam naskah lontar belum diketemukan. Mungkin saja argumen ini dikarang yang dikaitkan dengan landasan alias latar belakang filosofis adanya kenasiban ini. Alasannya adalah supaya ragha sarira yang berasal dari unsur prthiwi sementara bisa merunduk pada prthiwi dulu. Yang dengan cara ethis dilukiskan supaya mereka bisa mencium ibu prthiwi. Tetapi butuh diingatkan bahwa pada prinsipnya setiap orang mati wajib segera di aben. Bagi mereka yang tetap memerlukan waktu menantikan sementara maka sawa (jenasah) itu wajib di pendhem (dikubur) dulu. Dititipkan pada Dewi penghuluning Setra (Dewi Durga).

Ngaben Mitra Yajna

Ngaben Mitra Yajna Berasal dari kata Pitra dan Yajna. Pitra artinya leluhur, yajna berarti korban suci. Istilah ini dipakai untuk menyatakan tipe ngaben yang diajarkan pada Lontar Yama Purwana Tattwa, sebab tak disebutkan namanya yang pasti. Ngaben itu menurut ujar lontar Yama Purwana Tattwa adalah Sabda Bhatara Yama. Dalam warah-warah itu tak disebutkan nama tipe ngaben ini. Untuk membedakan dengan tipe ngaben sedehana lainnya, maka ngaben ini diberi nama Mitra Yajna. Pelaksanaan Atiwa-atiwa / pembakaran mayat ditetapkan menurut ketentuan dalam Yama Purwana Tattwa, khususnya tentang upakara dan dilaksanakan di dalam tujuh hari dengan tak memilih dewasa (hari baik).

Pranawa Pranawa

Pranawa Pranawa adalah aksara Om Kara. Adalah nama tipe ngaben yang mempergunakan huruf suci sebagai simbol sawa. Dimana pada mayat yang telah dikubur tiga hari sebelum pembakaran mayat diadakan upacara Ngeplugin alias Ngulapin. Pejati dan pengulapan di Jaba Pura Dalem dengan sarana bebanten untuk pejati. Ketika hari pembakaran mayat jemek dan tulangnya dipersatukan pada pemasmian. Tulangnya dibawah jemeknya diatas. Kemudian berlsaya ketentuan semacam amranawa sawa yang baru meninggal. Ngasti hingga ngirim juga sama dengan ketentuan ngaben amranawa sawa baru meninggal, semacam yang telah diuraikan.

Pranawa Bhuanakosa

Pranawa Bhuanakosa adalah aliran Dewa Brahma terhadap Rsi Brghu. Dimana Ngaben Sawa Bhuanakosa bagi orang yang baru meninggal mesikipun sempat ditanam, disetra. Kalau mau mengupakarai sebagai jalan dengan Bhuanakosa Prana Wa.

Swasta

Swasta artinya lenyap alias hilang. Adalah nama tipe ngaben yang sawanya (mayatnya) tak ada (tan kneng hinulatan), tak bisa dilihat, meninggal didaerah kejauhan, lama di setra, dan lain-lainnya, semuanya bisa dilsayakan dengan ngaben tipe swasta. Mesikipun orang hina, biasa, dan uttama sebagai badan (sarira) orang yang mati disimbolkan dengan Dyun (tempayan) sebagai kulit, benang 12 iler sebagai otot, air sebagai daging, balung cendana 18 potong.

Pranawa sebagai suara, ambengan (jerami) sebagai pikiran, Recafana sebagai urat, ongkara sebagai lingga nasib. Tiga hari sebelum pembakaran mayat diadakan upacara ngulapin, bagi yang meninggal di kejauhan yang tak diketahui dimana tempatnya, upacara pengulapan, bisa dilsayakan diperempatan jalan. Dan bagi yang lama di pendhem yang tak bisa diketahui bekasnya pengulapan bisa dilsayakan di Jaba Pura Dalem.

Secara umum rangkaian pelaksanaan ritual upacara budaya ngaben ini sebagai berikut :

Ngulapin, Ngulapin bermakna sebagai upacara untuk terbuktigil Sang Atma. Upacara ini juga dilaksanakan apabila yang bersangkutan meninggal di luar rumah yang bersangkutan (umpama di Rumah Sakit, dll). Upacara ini dilaksanakan tak sama sesuai dengan tata tutorial dan tradisi setempat, ada yang melaksanakan di perempatan jalan, pertigaan jalan, dan kuburan setempat.

Nyiramin atau Ngemandusin, Adalah upacara memandikan dan membersihkan jenazah, upacara ini biasa dilsayakan dihalaman rumah keluarga yangbersangkutan (natah). Pada prosesi ini juga disertai dengan pemberian simbol-simbol semacam bunga melati di rongga hidung, belahan kaca di atas mata, daun intaran di alis, dan perlengkapan lainnya dengan tujuan mengembalikan kembali manfaat-manfaat dari tahap tubuh yang tak dipakai ke asalnya, dan apabila roh mendiang mengalami reinkarnasi kembali supaya dianugrahi badan yang lengkap (tidak cacat).

Ngajum Kajang, Kajang adalah selembar kertas putih yang ditulisi dengan aksara-aksara magis oleh pemangku, pendeta alias tetua budaya setempat. Seusai berakhir ditulis maka para kerabat dan keturunan dari yang bersangkutan bakal melaksanakan upacara ngajum kajang dengan tutorial menekan kajang itu setidak sedikit 3x, sebagai simbol kemantapan hati para kerabat melepas kepergian mendiang dan menyatukan hati para kerabat jadi mendiang bisa dengan cepat melsayakan perjalanannya ke alam selanjutnya.

Ngaskara, Ngaskara bermakna penyucian roh mendiang. Penyucian ini dilsayakan dengan tujuan supaya roh yang bersangkutan bisa bersatu dengan Tuhan dan bisa menjadi pengajar kerabatnya yang tetap nasib di dunia.
Mameras, Mameras berasal dari kata peras yang artinya berhasil, berhasil, alias berakhir. Upacara ini dilaksanakan apabila mendiang telah mempunyai cucu, sebab menurut keyakinan cucu tersebutlah yang bakal menuntun jalannya mendiang melewati doa dan karma baik yang mereka lsayakan.

Papegatan, Papegatan berasal dari kata pegat, yang artinya putus, makna upacara ini adalah untuk memutuskan hubungan duniawi dan cinta dari kerabat mendiang, sebab kedua faktor tersebut bakal menghalangi perjalan sang roh menuju Tuhan. Dengan upacara ini pihak keluarga berarti telah dengan cara ikhlas melepas kepergian mendiang ke tempat yang lebih baik. Sarana dari upacara ini adalah sesaji (banten) yang disusun pada suatu lesung batu dan diatasnya diisi dua cabang pohon dadap yang dibentuk semacam gawang dan dibentangkan benang putih pada kedua cabang pohon tersebut. Nantinya benang ini bakal diterebos oleh kerabat dan pengusung jenazah sebelum keluar rumah hingga putus.



Pakiriman Ngutang, Seusai upacara papegatan maka bakal dilanjutkan dengan pakiriminan ke kuburan setempat, jenazah beserta kajangnya kemudian dinaikan ke atas Bade/Wadah, yaitu menara pengusung jenazah (hal ini tak utama wajib ada, bisa diganti dengan keranda biasa yang disebut Pepaga). Dari rumah yang bersangkutan anak buah masyarakat bakal mengusung semua perlengkapan upacara beserta jenazah diiringi oleh suara Baleganjur (gong khas Bali) yang bertalu-talu dan bersemangat, alias suara angklung yang terlihat kecewa. Di perjalan menuju kuburan jenazah ini bakal diarak berputar 3x berlawanan arah jarum jam yang bermakna sebagai simbol mengembalikan unsur Panca Maha Bhuta ke tempatnya masing-masing. Tidak hanya itu perputaran ini juga bermakna: Berputar 3x di depan rumah mendiang sebagai simbol perpisahan dengan sanak keluarga.

Berputar 3x di perempatan dan pertigaan desa sebagai simbol perpisahan dengan lingkungan masyarakat.
Berputar 3x di muka kuburan sebagai simbol perpisahan dengan dunia ini.
Ngeseng, Ngeseng adalah upacara pembakaran jenazah tersebut, jenazah dibaringkan di tempat yang telah disediakan, disertai sesaji dan banten dengan makna filosofis sendiri, kemudian diperciki oleh pendeta yang memimpin upacara dengan Tirta Pangentas yang bertindak sebagai api abstrak diiringi dengan Puja Mantra dari pendeta, seusai berakhir kemudian barulah jenazah dibakar hingga hangus, tulang-tulang hasil pembakaran kemudian digilas dan dirangkai lagi dalam buah kelapa gading yang telah dikeluarkan airnya.

Nganyud, Nganyud bermakna sebagai ritual untuk menghanyutkan segala kekotoran yang tetap tertinggal dalam roh mendiang dengan simbolisasi berupa menghanyutkan abu jenazah. Upacara ini biasanya dilaksakan di laut, alias sungai.

Makelud, Makelud biasanya dilaksanakan 12 hari seusai upacara pembakaran jenazah. Makna upacara makelud ini adalah membersihkan dan menyucikan kembali lingkungan keluarga dampak kekecewaan yang melanda keluarga yang ditinggalkan. Filosofis 12 hari kekecewaan ini diambil dari Wiracarita Mahabharata, saat Sang Pandawa mengalami masa hukuman 12 tahun di tengah hutan.